Senin, 03 Oktober 2011

Kyai Mustofa Bisri(Gus Mus)

Lahir : Rembang, 10 Agustus 1944
Agama : Islam
Jabatan: Pimpinan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
Istri: Siti Fatimah
Anak:
1. Ienas Tsuroiya
2. Kautsar Uzmut
3. Randloh Quds
4. Rabitul Bisriyah
5. Nada
6. Almas
7. Muhammad Bisri Mustofa
Ayah : Mustofa Bisri
Ibu : Marafah Cholil

Pendidikan :
- Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Lirboyo Kediri
- Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
- Raudlatuh Tholibin, Rembang
- Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir
Karya Tulis Buku:
- Dasar-dasar Islam (terjemahan, Abdillah Putra Kendal, 1401 H);
- Ensklopedi Ijma’ (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987);
- Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979);
- Kimiya-us Sa’aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya);
- Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung);
- Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994);
- Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993);
- Mutiara-Mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994);
- Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995);
- Pahlawan dan Tikus (kumpulan puisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996);
- Mahakiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996);
- Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996);
- Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995);
- Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997);
- Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997);
- Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997)
Organisasi:
Mantan Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) periode 1994-1999 dan 1999-2004
Gus Mus Sang Kiyai Pembelajar
Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.
KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.
Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya, jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.
Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.
Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.
KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.
Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.
Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.
Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap budaya yang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul Berdzikir Bersama Inul. Begitulah cara Gus Mus mendorong perbaikan budaya yang berkembang saat itu.
Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar. Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius, kata Gus Mus, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.
Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan, kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.
gm-besurban
Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisgus musri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku.
Namun adalah Gus Dur pula yang mengembalikan Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara Malam Palestina. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.
Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak. Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit.
Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990).
Tentang kepenyairan Gus Mus, Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan, kata Sutardji.
Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi: Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.
Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).
Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, Doaku untuk Indonesia? dan Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya panas jika tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat catatan harian.
Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.
Enggan Ketua PB NU
Kesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak.
Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah berpasangan dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama kontroversial.
Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya.
Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah, kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.
Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Marafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga ulama NU, Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.
Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan tangkas menyebutkan, Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak, ucap pria bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.***
http://cafesufi.wordpress.com/2009/01/23/biografi-kyai-mustofa-bisrigus-mus/

KH. Muhammad Kholil, Bangkalan, Madura (Mbah Kholil)



   KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.

Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.

KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijriah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayah Beliau. Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok-Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).

Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH. Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). KH. Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasyim Asy’ari, KH.Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama rekannya, dan KH.Muhammad Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH. Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Kiyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.

Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri.

KH.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil, sapan KH. Kholill bersama kiai-kiai besar seperti KH. Bisri Syamsuri, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH. Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH.Ghozi. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri tidak perduli, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil. ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH.Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

Di antara sekian banyak murid KH.Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH.Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (pendiri Pondok-Pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-Pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-Pesantren Asembagus, Situbondo).

Karomah syehk Kholil Bangkalan

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40].
Sementara ini ada dua kisah yang bisa saya cuplikkan yaitu:

1. KISAH PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK

Diantara karomah KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil, sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.
Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap.
“Sudah, pak Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya.
“Ya sudah.” Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.

2. KISAH KETINGGALAN KAPAL LAUT

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya :

“Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal.

Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya.
“Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya :
“Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.

Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah bertemu Kiai Kholil ?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap tajam.
“Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.

KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi.
http://www.mypesantren.com/blogs/1538983/

Kyai Mbah Dahnan (Syekh Abdul Hannan)


Tiga Pelajaran Berharga Dari Kyai "Nyleneh"

Di daerah Tambak Ngadi, Kediri, Jawa-Timur terdapat suatu kompleks makam auliya’. Kata auliya’ adalah bentuk jamak dari wali, waliyun atau wakil Allah SWT dalam melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW. Mereka yang dimakamkan di kompleks ini adalah orang-orang yang berjuang seluruh hidup mereka di jalan Allah untuk mengibarkan syi’ar islam.

Di salah satu bagian dari kompleks tersebut terdapat makam dari Syekh Abdul Hannan atau yang lebih dikenal dengan Mbah Dahnan.

Semasa hidupnya beliau adalah sosok kyai yang terkenal dengan gaya hidup yang nyleneh (aneh). Beliau mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Trenggalek, Jawa-Timur. Pondok pesantren itu semasa hidupnya tidak ia beri nama apapun. Santrinya pun tidak banyak, beliau sangat mementingkan kualitas santrinya dibanding kuantitas.

Pelajaran Pertama

Beliau hidup sangat sederhana, rumahnya hanya berdinding anyaman bambu dengan lantai tanah. Beliau tak pernah makan nasi. Beliau hanya makan singkong, tanaman yang tumbuh subur di Trenggalek. Kadang-kadang beliau makan singkong dengan sate ayam tapi itu tidak ia lakukan setiap hari. Dalam seminggu masih dapat dihitung berapa tusuk sate yang ia makan. Satu-satunya barang yang paling berharga yang ia miliki adalah Perkutut Putih. Beliau sangat menyayangi Perkutut tersebut, karena bentuknya yang indah dan suaranya yang merdu, dan tentu saja karena Perkutut Putih itu sangat langka sehingga menjadi incaran para kolektor untuk membelinya dengan harga yang tinggi.

Berdasarkan wawancara penulis dengan salah satu santrinya, almarhum adalah salah satu sosok yang tak ada tandingannya dalam perilaku ridho, ikhlas dan sabar. Pernah pada suatu pagi, ketika almarhum beserta para santri sedang bekerja di ladang yang tak terlalu jauh dari rumahnya, sang santri melihat ada seseorang yang hendak mencuri Perkutut Putih kesayangan Kyai. Melihat hal tersebut, sang santri langsung melaporkan kepada Mbah Dahnan yang berada tak jauh dibelakangnya. Namun Mbah Dahnan justru menarik tangan santrinya, dan menyuruh untuk bersembunyi di balik semak-semak. Sang santri bertanya kepada Mbah Dahnan, mengapa kita harus bersembunyi? Beliau kemudian memberitahu sebab mereka semua disuruh bersembunyi sementara melihat si pencuri melakukan aksinya, karena beliau merasa kasihan kepada si pencuri, bisa saja si pencuri itu malu dan mengurungkan niatnya untuk mencuri bila ketahuan oleh mereka.

Walaupun Perkutut Putih itu adalah satu-satunya hewan peliharaan paling berharga yang Mbah Dahnan miliki, karena selain langka dan suaranya yang merdu, harganya pun terhitung sangat mahal. Sudah banyak orang menawarkan uang puluhan juta untuk membeli Perkutut Putih tersebut, namun Mbah Dahnan tak pernah mau memberikannya. Tapi di saat ada seseorang mencuri Perkutut putih tersebut, beliau ridho dan ikhlas karena Allah SWT. Beliau tampaknya mengetahui bahwa maling tersebut lebih membutuhkan Perkutut putih kesayangannya dibanding dirinya atau kolektor yang sudah menawarkan harga puluhan juta kepadanya. Beliau pun sangat menyadari bahwa maling itu hanyalah wasilah dari Allah. Dan apapun yang Allah kehendaki atas dirinya itulah yang terbaik menurut ilmu Allah.

Pelajaran Kedua

Cerita selanjutnya adalah disaat beliau kehilangan anak pertamanya dan laki-laki satu-satunya saat itu. Di saat anaknya meninggal karena sakit panas, istrinya menangis, dan para santrinya bersedih. Namun Mbah Dahnan justru memuji Allah dan mendendangkan shalawat. Beliau dengan tenang mengafani sendirian kemudian melakukan shalat jenazah bersama para santri-santrinya.

Siapa yang akan rela kehilangan anak laki-laki semata wayangnya ? Namun bila menurut Allah itu yang terbaik, maka beliau pun ridho karena Allah memberikan hadiah yang tak ternilai baginya.

Anak laki-laki yang diambil oleh Allah belum memiliki dosa apapun, sehingga baginya tentu akan mendapatkan surga. Beliau sangat bangga karena memiliki anak yang kelak menjadi penghuni surga. Dan barang siapa yang ridho atas ketentuan Allah dengan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un maka akan dibangun rumah baginya di surga.

“Apabila meninggal anak seorang hamba, maka Allah SWT berkata kepada malaikat: Apakah kamu telah mencabut roh putra hambaKu. Jawabnya: Ya. Apakah kamu telah mengambil buah hatinya ? Jawabnya: Ya, benar. Maka Allah berkata: “Lalu apa yang diucapkan oleh hambaKu?. Malaikat berkata: “Dia memuji-Mu dan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Maka Allah SWT berkata: “Bangunkan untuk hambaKu tersebut sebuah rumah di surga dan beri nama tempat itu Baitul Hamdi”. (H.R. Turmudzi, dia berkata: Hadis Hasan)

Setelah kematian anak laki-lakinya tersebut, akhirnya beliau diberikan anugrah oleh Allah untuk memiliki 5 orang anak.

Kejadian Ketiga

Kejadian yang paling teringat oleh seluruh santri Mbah Dahnan adalah ketika pesantren yang baru saja mereka bangun dengan susah payah mengalami kebakaran. Di saat para santri sibuk dan panik memadamkan api yang melalap pesantren tersebut, Mbah Dahnan justru menari-nari sambil tak henti-hentinya dari mulutnya memuji Allah dan bershalawat. Akhirnya tak ada yang dapat terselamatkan dari pesantren yang baru mereka bangun. Seluruhnya telah hangus terbakar oleh api. Setelah kejadian tersebut, Mbah Dahnan berserta seluruh santrinya justru mengadakan acara syukuran atas kejadian tersebut.

Hal luar biasa yang dapat kita petik dari beliau adalah, sifat ridho, ikhlas dan sabarnya. Beliau benar-benar yakin bahwa apapun yang diberikan Allah saat ini adalah yang terbaik. Musibah dalam bentuk nikmat dan bencana adalah hal yang pasti terbaik menurut Allah, untuk itulah ia selalu mengucapkan syukur tak terhingga kepada-Nya atas apapun yang terjadi saat itu.

Dan memang, tak beberapa lama setelah kejadian kebakaran tersebut, beliau mendapatkan bantuan untuk mendirikan pondok pesantren yang lebih besar dari pada pondok pesantren terdahulu.

“Dunia itu menjijikkan”. Kalimat itulah yang paling sering Mbah Dahnan ucapkan di saat beliau masih hidup. Kalimat tersebut sangat membekas di kalangan santrinya. Karena logika duniawi “tak kan pernah nyambung”, dibanding dengan ilmu Allah yang sedemikian luasnya.

Tingkatan kita mungkin sangat jauh dibanding beliau, namun dengan membaca kisah hidupnya diatas, insya Allah ada hal yang dapat kita petik untuk dikemudian hari. (http://mutiaradibalikmusibah.blogspot.com)

kh ahmad badjuri

Assalaamu,alaikum Wr, Wb .
Alhamdulillah berkat rahmat allah dan inayahnya Buku yang berjudul ;SEKILAS BIOGRAFI. AlM. KH. ACHMAD BAJDJURI. Hadir dengan kesederhanaan yang menyelubunginya
Dengan adanya buku ini kami berharap rekan rekan mampu menelusuri , menauladani dan meresapi biografi beliau .
Sekaligus menjadikan figur untuk mengapai prospek kehidupan yang dinamik dan sejastera ,karena dalam buku ini mencoba menguwak sisi petualangan (Hadrotussyekh Shoibul Fadilah Walkharomah KH ACHMAD BAJDURI ) yang sumbernya ,kami peroleh langsung dari penuturan beliau , baik ketika mencari ilmu maupun setelah berkiprah di masyarakat.Selain itu dari penuturan beliau waktu mengaji kitab. Arwahul Mauta, Minhajul Abidin, Aklakussalaf, Qisrotul Mi'rot, Nashoihud diniyah. Maudhotul Mu'min tiap ba'da subuh dan 'asar yang sudah di CD kan.
Kami menyadari dan yakin bila penyusunan buku ini banyak kekurangan dan jauh kesempurnaan terutama dalam Penyusunanan kalimat dan tata bahasa , untuk memenuhi selera pembaca, sehubungan dengan itu kami hanya bias berharap agar kehadiran buku ini kami di terima dengan keiklasan hati serta di barengi terbukanya pintu kemanfaatan.
Wassalaamu ,alaikum Wr,Wb.
KH. IM.HAMBALI HAROMAIN ( Kediri )
Disalin Oleh
ALI MASJKUR BADJURI, ST @ 2007


D A F T A R I S I
Daftar isi
1. Foto pengasuh pon-pes Ma, dinul Ulum
2. Sekilas Biografi ( KH. Achmad Badjuri )
3. Periode merambah ilmu
4. Pernikahan KH . Achmad badjuri
5. Merintis Pondok Pesantren
6. Menunaikan ibadah haji
7. Pembangunan Masjid
8. Nama-Nama Guru KH. ACHMAD BADJURI
9. Keberhasilan ( KH. ACHMAD BADJURI )
10. Metode Pelajaran yang di sampaikan
11. Tujuan Mendirikan Pondok Pesantren
12. Riadloh dan Aurod KH. ACHMAD BADJURI
13. Doa dan Harapan KH. ACHMAD BADJURI
14. Mau,idhoh KH. ACHMAD BADJURI
15. Penutup.


Info lengkap biografi KH. Ahmad Badjuri Kunjungi :
http:// madufm-campurdarat.blogsport.com

KH .ACHMAD BADJURI
Pengasuh / Pendiri Pondok Pesantren Ma,dinul UlumCampurdarat

SEKILAS BIOGRAFI KH.ACHMAD BADJURI
Beliau dilahirkan di Desa Campurdarat Tulungagung pada tahun 1938 M .oleh seorang ayah H. PUSLAN Bin Haji Thohir dan seorang ibu Hj. SULMI Binti JAYADI. Beliau anak yang kesebelas dari sebelas orang bersaudara.
Pada tahun 1945 m. beliau masuk sekolah dasar dan bertepatan kemerdekaan Negara Rebublik Indonesia .Dengan adanya peritiwa pemberontakan PKI. Madiun 1948 .dan agresi belanda tahun 1949, Maka kegiatan sekolah tergangu sehinga beliau tamat sekolah tahun 1953 m. pada waktu masih sekolah- dasar , beliau juga mendalami di siplin ilmu baca Alquran .dalam hal ini beliau mengaji kepada sesepuh Campurdarat ,diantara nya:
1.Almarhum Bapak Kyai SODIQUN
2.Almarhum Bapak Kyai Haji UMAR
3.Almarhum Bapak Kyai Haji ZAINI
Beliau juga tabarukan pada Almarhum Assyek Al'allamah Azzahid Hadrotussyek KH. DIMYATI Campurdarat ( Beliau ini kakak kandung dari ibu Hj. Sulmi ).

PERIODE MERAMBAH ILMU 

Pada Tahun 1945 M. Beliau berangkat mencari ilmu ke Pondok Pesantren , pertama beliau Mondok di Pondok Sumbergayam Jajar Kabupaten Trenggalek Yang diasuh Oleh :
1)Assyekh Al 'alamah Alwaro ‘ Aljuud Mbah Kyiai BADRUDDIN
2)Assyekh Al 'alamah Al 'ilmi Tauhid Mbah Kyiai ABI SUJAK atau Mbah Kyiai DARWI
3)Assyekh Al' alamah Fil Ilmi Tasawwuf Mbah Kyiai MAHFUD
Setelah dua setengah tahun di sana karena Mbah Kyai Badruddin wafat , maka Beliau oleh Mbah Kyai Darwi diperintah untuk pindah kePondok Pesantren Sidorangu, Krian Sidoarjo yang diasuh oleh Assyekh Al 'alamah Azzahid Aljuud Shohibul karomah Walfadilah Al-Kabiroh Kyiai SAHKLAN , untuk belajar Ilmu HAL.( Ilmu Tingkah laku ).
Sesudah dua setengah tahun berguru disana terdorong oleh perasaan ingin meningkatkan materi pelajaran , maka beliau pindah kePondok Pesantren Berasan Banyuwangi , Yang diasuh Oleh :
1.Assyekh Al alamah Alwaro Shohibul karomah wal fadhilah Kyiai Haji ABDUL MANAN
2.Assyekh Al alamah Alwaro Shohibul karomah wal fadhilah Kyiai Haji ISKANDAR
Beliau juga tabarukan pada Almarhum Assyekh Al'allamah Azzahid Hadroyus syekh KH. DIMYATI Campurdarat belia ini kakak kandung ibu Nyai Hj. Sulmi ).

 Sesudah dua setengah tahun disanah disana karena Kyai Mbah Bahruddin Wafat maka beliau oleh Mbah Kyai Darwi dipeintahkan dan dianjurkan untuk memperdalam ilmu agama lagi ke Pondok Pesantren SIDORANGU, KRIYAN, Sidoarjo yang diasuh oleh Asyekh Al'Allamah Zaahid Al Juuhud Sohibul Karomah Wal Fadilah Al Kabiroh Kyai Sahlan untuk belajar ilmu hal ( ilmu Tingakah Laku /Tasyawuf ).
Sesudah dua setengah tahun berguru di sana terdorong oleh prasaan ingin meningkatkan materi pelajaran maka beliau melanjutkan mengaji ke Pondok Pesantren BERASAN BANYUWANGI yang diasuh oleh :
1.Assyeh Al’alamah Alwara’ Shohibul Karomah Wal Fadillah Kyai Haji ABDUL MANAN
2.Assyeh Al’alamah Alwara’ Shohibul Karomah Wal Fadillah Al Kabiroh Kyai HajiISKANDAR
Disana beliau mengaji kitab Tafsir Jalalaine dan Al Qur’an Nul Karim Kepada HADRATUSSYEKH KYAI HAJI ABDUL MANAN. Dan kitab Ihya’ Ulumuddin kepada HADRATUSSYEKH KYAI HAJII ISKANDAR.
Dengan modal pengetahuan yang sudah beliau peroleh maka semakin tinggi hasrat beliau untuk meningkatkan pengetahuan. Untuk itu beliau lalu melanjutkan memperdalam Ilmu agama KePondok Pesantren KAJEN Tempat di BULU MANIS JUWONO PATI Jawa Tengah yang diasuh oleh Asyeh Al’alamah Alwara’ Shohibul Karomah Fil Ilmi Manteq Wal Badi, Wal Bayan KH .ABDUL HAQ. Disana beliau mendalami Ilmu :
1.lmu manteq( Imu Logika )
2.Ilmu Balaghoh ( Jawahirul ma’nun)
3.Ilmu Usul Fiqih
Yang semuanya itu beliau tempuh dalam jangka waktu satu tahun. Hadrotus syekh KH. AHMAD BAJURI pernah mengaji dan mempelajari Ilmu Hisab (Ilmu Falak) Kepada KH. MAHFUD Pengasuh Pondok Pesantren Ambulu Kabupaten Jember. Tak kurang dari 6 Bulan beliau disiplin Ilmu hisab dibawa bimbingan KH. MAHFUDZ yang 'allamah itu.
Karena semakin tingginya hikmah Hadrotussyekh untuk mendalami Agama sedalam-dalamnya,maka pada tahun 1960 M. Memperdalam ilmu agama di Pondok Pesantren Tertek Pare Kediri yang di asuh oleh Assyekh Al'allamah Fil'ilmi Hadist Wal Hafidzil Qur'an Kyai ZUAINI ,di sana beliau mengaji kitab –kitab Hadist.
Setelah selesai mengaji Kitab – kitab Hadist tepatnya pada tahun 1963 M. Hadrotussyekh masuk pondok Toreqoh, Kauman Tulungagung yang diasuh oleh Assyekh Al,allamah Wal Fadillah Kyai Haji Mustakim Husin untuk Bai,at Toreqoh syadaliyah wal qodiriyah.
Didalam mencari Ilmu, beliau senantiasa mengalami berbagai cobaan, namun didalam menghadapinya dengan tabah, meskipun krisis ekonomi, berbagai kesusahan beraneka ragam keprihatinan adalah teman beliau pada waktu menimba Ilmu. Seringkali sewaktu beliau menimba Ilmu di berbagai Pondok Pesantren mengalami kehabisan bekal, namun dihadapinya dengan tegar tanpa memperlihatkan kesusahan yang menggangu peroses belajar berkat ketabahan, ketekunan, dan keiklasan serta birulwalidan kepada kedua orang tua yang dilakukan, dalam waktu yang relatif singkat beliau dapat menguasai materi - materi pelajaran yang disampaikan guru-guru beliau.

Pada masa – masa belajar, Hadroyus syekh sangat beminat mendalami bebagai macam disiplin Ilmu, akan tetapi yang beliau gemari adalah cabang aqidah, syari’ah dan kususnya Ilmu tasawuf. Dalam bidang tasawuf beliau sangat menguasai dan menjiwai, sehingga pada waktu membacakan kitab Bidayatul Hidayah karya Al Ghozali dan Kifayatul Atqiya’, seakan - akan tanpa melihat teknya, karena sepertinya beliau sudah hapal, begitu juga ketika membacakan kitab Hikam karya Syekh Al’-arif Billah Ahmad Bin ’Atho’illah Assakandari ,beliau dengan jelas mentasawurkan atau menerangkan dan mudah menerima.

Lagi - lagi cobaan Hadratus Syekh pada waktu mondok ,pernah mengalami kekurangan bekal,yang sehinga untuk beberapa waktu beliau harus makan tiwul atau karak ,tapi beliau tetap tegar dan tabah (nerimo ing pandum). Dalam mencari ilmu Hi'mah Hadrotus Syekh sangat banyak, derasnya godaan , susahnya ekonomi, serta badai cobaan yang bagai manapun tidak menjadi persoalan, tetesan keringat dan lemahnya fisik tak menjadi masalah, asal keinginan belajar dapat terpenuhi, itulah perinsip beliau pada waktu itu, dan setiap khatam mengaji beliau selalu memberi shodaqoh atau bisyaroh semampunya kepada Kyai atau guru yang mengajar, meski harus menabung setiap harinya.
Begitulah perjalanan pengembaraan Hadroyus Syek KH Shohibul Karomah Wal Fadilah Kyai Haji Ahmad Bajuri, dalam mencari ilmu dengan segala suka dan duka.
 PERNIKAAN KH. AHMAD BAJURI
Pada usia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1963 M beliau menjalankan sunnah rosul yaitu tazzawud dan oleh Allah beliau dianuhgerai dua orang istri. Istri yang pertama bernama Hj. MUSLIHAH BINTI HAJI AHMAD SALAM. Dari desa Jengles Pare kediri yang di karuniai Putra – Putri 6. .
1.IBNU MUDZIR ( meninggal usia 7 hari ) 4. DEWI SAUDAH ( hafidoh )
2.ALI MUBAROK 5. H. ALI MUST’AIN
3.ANIS ROHILLAH ( meninggal usia 6 tahun ) 6. ALI IMRON

Dan istri Kedua bernama Hj. NAMLATUS SHOLIHAAH BINTI HAJI SHOLEH dari desa Campurdarat. Di karuniai anak. 5.
1. Drs H. ALI MA’DUM 3. SITI ROHMAH
2. H. ALI M’ASUD SH. 5. ALI MASJKUR, ST
3. LAILATUL ISTIFAIYAH ( hafidoh )


 MERINTIS PONDOK PESANTREN
Selama masih ada kesempatan, bagaimana punjuga harus digunakan untuk menimbah ilmu itulah perinsip Hadroyus syekh Kh. Ahmad Bajuri. Tapi beberapa kyai sekaligus sebagai sang guru, minta agar beliau menyudai mondok dan supaya mendirikan pondok pesantren, karena sudah dianggap mampu mengembangkan ilmunya diasyarakat.
Adapun para guru yang memerintah ialah.
1. ALMARHUM MBAH KYAI DIMYATI dengan kata – kata kinayahnya, karena Mbah kyai DIMYATI
termasuk khowariqul’adah.
2. ALMARHUM MBAH KYAI KHOLIL Dawuan Gurah Kediri Mursyid Thoriqoh Naqsabandi
Kholidiyah.
3. AL MARHUM MBAH KYAI Njajar Trenggalek
4. AL MARHUM MBAH KYAI MUSTAKIM HUSIN Tulungagung Mursid Thoriqoh Sadzaliyah
Qodiriyah.

Sebenarnya masyarakat Campurdarat sudah lama menginginkan Hadrotus syekh KH. AHMAD BAJURI segera pulang dan mengembangkan ilmunya di masyarakat. Maka dengan taat perintah guru dan memenuhi perintah masyarakat, beliau menyelesaikan mondok dan Riyadhoh sekaligus melak sanakan perintah guru.

Sebagai realisasi dari amanat para guru tersebut, mula – mula beliau beserta masyarakat sekitar membuat musollah kecil yang atapnya terbuat dari rumput alang – alang dan dindingnya dari anyaman bambu sedangkan tiangnya dari bambu ori untuk peribadatan dan menampung penduduk yang ingin mengaji. Baru tiga tahu kemudian, tepatnya pada tahun 1965 M beliau membangun musollah tersebut menjadi sebagian tembok dan sebagian lainya dari anyaman bambu ( kloneng ) yang bahan materialnya beliau dapat dari rumah kedua orang tuanya yang telah diberikan kepada beliau, supaya dijadikan musollah.
Untuk mengisi kegiatan musollah, selain mengaji beliau juga mendirikan Jam’iyah Thoriqoh, manaqib dan Jamiyah Al berjanji. Berhubung pada tahun 1965 M beliau di minta oleh Organisasi kemasyarakatan untuk menjadi SYURIYAH di Campurdarat, maka untuk melengkapi dan menjalankan program NU beliau mendirikan Madrasah Wajib Belajar ( MWB) pada tahun 1968 M. Yang sekarang menjadi MI, dengan persamaan SD.
Khusus pada bidang keagamaan beliau ingin mencetak kader – kader Ulama’ yang akan meneruskan perjuangan Rosululloh SAW di masa mendatang, maka dari itu beliau mendirikan madrasah diniyah sehinggah pada tahun 1969 M sudah mempunyai siswa kurang lebih 600 siswa.
Dari hari kehari, perkembangan siswa dan jama’ah semakin bertambah, maka dirasa perlu membenahi segalah sesuatunya. Untuk itu tepatnya pada tahun 1977 M beliau merehab Musolla yang semula terdiri dari sebagian tembok dan sebagian anyaman bambu, menjadi bangunan permanen dari tembok dengan ukuran 10 x 7 m.
Selang satu tahun kemudian, datanglah santri dari luar daerah, karena semakin hari semakin bertambah,maka mulai saat itulah dibangun pondokan untuk menampung santrin yang datang dari luar daerah ,hinga pada tahun 1979 M.beliau membangun gedung madrasah yang terdiri dari dua lokal dengan ukuran 14x 6m ,karena sarana yang sudah ada tidak memadahi lagi , mulai saat itulah perkembangan pondok pesantren semakin pesat bahkan dapat dikatakan stabil ,karena jumlah santri dan fasilitas gedung semakin bertambah .dan untuk meningkatkan kwalitas satri ,pada tahun 1985 M .hinga tahun 1985 M.beliau telah membacakan beberapa kitab di antaranya:
1.Shoohih Bukhori ( Hatam satu tahun )
2.Shohih Muslim ( Hatam satu tahun )
3.Sunan Abi Dawud ( Hatam satu tahun )
4.Ihya,Ulumuddin ( Hatam satu tahun )
5.HIKAM ( HATAM Satu tahun )


 MENUNAIKAN IBADAH HAJI 
Sebagai seorang muslim yang setia kepada agama ,sudah barang tentu keinginan untuk menyempurnakan rukun islam ke lima ,begitu juga Hadrotussyeh Shohibul Kharomah Walfadilah KH.ACHMAD BADJURI . Beberapa keinginan itu terpemdam dalam hati ,menanti adanya kesempatan .Baru setelah menghatamkan kitab Ihya,Ulumuddin ,beliau dapat menjalankan ibadah Haji ke tanah suci ,sebab tanpa diduga sebelumnya ,pada tahun 1990 M.Beliau di minta oleh bapak Bupati Tulungagung ,yaitu Bapak SYAIIFUDDIN SA'ID untuk menjadi pembibing haji [T P H D ].

 PEMBANGUNAN MASJID 
Selang satu tahun sepulang dari tanah suci tempatnya pada tahun 1991 M beliau di perintahkan Syekh Habib Ahmad Al 'Mukhdor sebagai sang guru supaya membangun masjid,dengan di beri bekal batu merah sebanyak 70.000 Buah.
Berkat do'a Hadrotussyeh Shohibul Kharomah wal fadilah Habib Ahmad Al'muldror juga ridho Allah SWT, pembangunan masjid dapat di selesaikan berikut menaranya dalam jangka dua tahun ,dengan menelan biaya; -Rp 60.000.000.-


Masjid di bangun di atas tanah 20x 18 m .dengan menelan biaya –Rp 60.000.000.
Semua itu dapat terwujud karena ridho Allah SWT.dan semangat pengabdian juga keiklasan hati serta ketaatan Hadrotussyekh kepada sang guru yaitu Syekh Habib Ahmad All-Mukhdror Bendilwungu Ngunut Tulungagung.
NAMA-NAMA GURU KH.ACHMAD BADJURI
1.Assyekh Al’alamah fil.ilmi fiqih wa tasawwuf wa tauhid wal ,alqur,an Mbah Kyai
Babruddin Njajar durenan Trenggalek .
2.Assyekh Al’alamah fil’ilmi Tasawwuf Watauhid wal Quran Mbah Kyai Mahfudz Njajar
Trenggalek
3.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi,illmi Hal Mbah Kyai Sahlan Sidorangu Krian
4.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi,illmi Hal Mbah Kyai Ilyas.
5.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Mbah Kyai Abdul Manan Manan Berasan
Bayuwangi.
6.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Mbah Kyai Iskandar Berasan bayuwangi.
7.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi hisab Hal Mbah Kyai Mahfud Ambulu Jember.
8.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Manthiq wal bayan wal badi,Mbah Kyai
abdul haq Kajen Bulu manis pati jawa tengah .
9.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hadist Syekh Zuwaini Tertek Pare Kediri
10.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Thoriqoh Mbah Kyai Haji Mustakim
Tulungagung.
11.Assyekh Al’alamah Azzahid Khowairuqul ’adah Mbah Kyai Haji Campurdarat
12.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Habib Ahmad Al-Baharun
13.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Habib Ahmad Al-Mukhdlor Bendilwungu
Ngunut Tulungagung
14.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Mbah Yai Kholil Dawuhan Kediri
15.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi,illmi Hal Hizib Mbah Kyai Yusuf Cirebon Jawa
Barat
16.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Hizib Mbah Kyai Ahmad,dun Dorosemo
17.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Hal Hizib Mbah Kyai Haji Siroj.
18.Assyekh Al’alamah Dzul karomah fi'illmi Tauhid Watasawuf Mbah Kyai Darwi Njajar
Durenan Trenggalek


KEBERHASILAN KH. ACHMAD BAJDJURI
Dari bekal ilmu beliau peroleh para guru nya tersebut ,beliau mendapat pertonlongan allah dapat menjalankan amanat guru, yaitu mendirikan pondok pesatren salafiyah ,campurdarat, Dengan mendirikan pondok pesatren Ma’dinul’ulum.masarakat sekitar yang pada mulanya belum mengenal pondok pesantren ,seperti daerah pegunungan ,wates gamping ngentrong pakel campurdarat dan sebagainya.akhirnya punya keinginan
Untuk mendidik putra putrinya lewat pesantren.dan dahulunya warga Campurdarat belum ada yang hafal Al Quran ,setelah berdirinya Pondok Pesantren Ma’dinul ulum ,pada tahun 1991 M sudah ada empat warga campurdarat yang hafal Al-Quran .
Adapun empat orang warga Campurdarat yang telah berhasil hafal Al-Quran ialah
1. Dwi Saudah [putri beliau]
2. Lailatul Agustina [putri menantu beliau]
3. Lailatul Istifa'yah [putrid beliau ]
4. Moch Arifin [putra menantu beliau]

METODE PELAJARAN YANG DI SAMPAIKAN

Hadrotussyekh Kyai Ahmad Badjuri ,dalam menyampaikan pendidikan kepada putra-putri dan santrinya dengan system sorogan ( di bacakan dan ditirukan ) bila ada yang salah beliau menegur ,bahkan membenarkanya jika perlu .sebagai tingkat dasar materi yang mula –mula beliau sampaikan adalah membaca Al-Quran , Al Barjanji, Bidayatul Hidayah dan Aqoid lima puluh, setelah pelajaran itu di kuasai baru di tingkatkan kepada pelajaran lain yang lebih tinggi .sampai akhir nya terbentuk Madrasah Diniyah, selain mengajar kepada santri-santri, beliau juga bertablegh kepada masarakat, bahkan beliau sering memberi ceramah atau pengajian kepada jam’iyah Thoriqoh .
Dalam memperjuangkan Agama Allah hi'mah Hadrotussyekh sangat tinggi ,derasnya godaan ,susahnya ekonomi dan adanya cobaan dari luar maupun dari dalam ,tidak menjadi halangan untuk memperjuangkan Agama Allah .Bahkan pada waktu itu rumah beliau masih berupa rumah bambu yang jauh dari standar walaupun demikian tidak.mengurangi semangat juang beliau .

Seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan , Teknologi dan Informasi yang semakin meglobal, dan untuk ikut berperan didalamnya, Yayasan Pendidikan Islam Pondok Pesantren “ MA’DINUL ‘ULUM “ Campurdarat memandang perlu untuk ikut berperan aktif dalam membentuk mental generasi bangsa dimasa mendatang yang Berakhlaq, berbudi luhur dan memiliki mental yang baik serta berpengetahuan luas . Guna mewujudkan peran aktif tersebut diatas YPI Pondok Pesantren “ MA’DINUL ‘ULUM “ dengan Akte Notaris Masjkur ,SH No 7 Tgl 4 Juni 1991 Yang didirikan Hadratus Syeh KH.Ahmad Bajuri mulai Tahun 1968 di Campurdarat dgn santri + 600 santri dan mempunyai beberapa kegiatan antara lain :
1. Pendidikan Formal Taman Kanak – Kanak + PLUS
2. Madrasah Ibtida’iyah ( MI ) PLUS +
3. Madrasah Diniyah Awaliyah
4. Madrasah Diniyah Wustho ( Tsanawiyah )
5. Madrasah Diniyah Aliyah
6. Pengajian Kitab – Kitab Kuning ( Salafiyah )
7. Hafidh Al – Qur’an
8. Pendidikan Ektra ( Ketrampilan ; Komputer, Bhs Inggris, Arab )
9. Pertukangan,Memasak, Elektro, Kerajinan marmer).
10. Koperasi ( Warung / kantin Pondok Pesantren )
11. Sosial( Informasi Komunikasi,Dakwah,Pengabdian Masyarakat ( Radio Komunitas Pesantren MA"DINUL"ULUM" ( MADU FM dengan 8 Jaringannya tersebar di Trenggalek, Ponorogo, Kediri, Blitar ),
12. Pelayanan Kesehatan Pondok Pesantren

Karena tuntutan masyarakat luas yang sudah pulang kerumah dan tetap bersemangat untuk mendengarkan dan mengaji kepada beliau meskipun dari rumah seperti alumni-alumni daerah Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, Kediri sehingga pengajian beliau di siarkan juga lewat media elektronika ( RADIO Pesantren MA"DINUL"ULUM ) di Freq 107.7 Mhz, 96.20 Mhz di daerah Prigi Trenggalek, 100.4 Mhz Didaerah Mojo Kediri dan Trenggalek mulai tahun 1999.
Kitab – Kitab yang di kaji tiap hari ( Ba'da Subuh dan 'Asar )
1. Kitab Minhajul Abidin
2. Kitab. Nashoihud Diniyah
3. Kitab Qisrotul Mi'rot
4. Kitab Arwahul Mauta
5. Kitab Dalail Khoirot
6. Kitab Maudhotul Mu'min

TUJUAN MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN
Hadrotussyekh shohibul Karomah wal faldlilah Kyai Haji Achmad Badjuri , Mendirikan pondok pesantren tak lain hanyalah untuk memperjuangkan Agama Allah SWT, dan mensiarkan Islam , lewat NASRUL ILMI WADDIN.Karena sabda nabi saw:
Artinya; Lebih utamanya amal setelah iman kepada Alloh, ialah memperjuangkan Agama Alloh.

Juga pengabdian Beliau terhadap Nusa dan Bangsanya, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw:
Artinya:lebih baik-baiknya manusia ialah dapat memberi kemamanfaatan kepada orang lain
RIADLOH DAN AUROD KH. AHMAD BADJURI
Dalam kehidupan sehari-hari semejak mondok di berbagai pondok pesatren hingga mendirikan dan mengasuh pondok ,Hadrotussyekh senantiasa menjanlankan riadohnya dan mengistiqomahkan wiridan. Beliau sangat istiqomah membaca Al-Quran dan Dalail khoirot, setiap harinya,bahkan dalam kondisi yang sehat beliau menghatamkan Dalail Khoirot lebih dari satu kali setiap harinya. di samping itu beliau tergolong orang yang tidur malam , dan kesempatan itu di gunakan untuk matlaah kitab dan takharuf kepada Allah SWT.

Hadrotussyekh Shohibul Karomah Wal Fadillah Kyai Haji Ahmad Badjuri suka ziaroh dan tawasul kepada wali-wali dan ulama .kebiasaan ziaroh ke Makam wali-wali itu merupakan kegemaran beliau sejak kecil hinga mengasuh pondok pesantren beliau selalu menjalankan birul walidainin ,beliau sangat menghormati kedua orang tuanya ,hinga ketika ibu nya wafat tak kurang dari empat puluh hari beliau setiap pagi beliau ziarah ke makam ibunya,beliau sangat patuh kepada ibunya ,beliau sangat patuh dan mencintai kedua orang tuanya dan saudaranya,tidak pernah ada persilisihan yang dapat memutuskan persaudaraan.
DOA DAN HARAPAN KH.AHMAD BADJURI TERHADAP GENERASI PENERUS DAN ANAK CUCU

Hadrotussyekh sennatiasa berdoa dan berharap semoga para santrinya dan anak cucunya mau menghafal Al-Quran dan semoga pengelola di beri umur panjang ,serta kesehatan ,kekuatan ,kesabaran ,serta rizqki yang cukup dan akhirnya diberi husnul khoti mah Amin

KYAI HAJI DIMYATHI ‘KHOSSUN’


A. LINGKUNGAN KELUARGA
Kyai Haji DIMYATHI, dilahirkan pada tahun 1875, di Dusun kauman desa campurdarat kecamatan Campurdarat kabupaten Tulungagung. Beliau adalah putra ke 6 dari sepuluh orang putra-putri Mbah Zayadi dan ibu Warisah, yaitu Mirah, Hindun, Khodijah, Klumpuk, Sulbiyah, Katminah, Mariam dan Kasmi. Pada waktu dilahirkan oleh kedua orang tuanya beliau diberi nama Khossun, dengan makna Khos: Kedudukannya dan Sun: perbuatan atau tingkah lakunya.

Khossun lahir dilingkungan keluarga yang religius dan taat menjalankan agama. Sebagaimana umumnya penduduk di wilayah dusun kauman masa itu. Pekerjaan Khossun adalah bertani demikian pula orang tua Khossun, hanya yang membedakan dari warga masyarakat yang lain adalah, Mbah Zayadi memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi terhadap berkembangnya agama islam di lingkungannya, oleh karena itu tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa beliau merupakan salah satu pemimpin masyarakat yang sangat disegani pada masanya.
Hidup dilingkungan tersebut memudahkan khossun dan saudara-saudaranya untuk memperoleh dasar-dasar agama Islam. Sejak kecil kedua orang tunya telah menanamkan nilai-nilai islam pada Khossun dan saudara-saudaranya. Waktu itu khossun dan saudara-saudaranya menerima pelajaran membaca alqur’an dari lingkungan keluarga, sebelum mereka meninggalkan keluarga untuk mencari ilmu ke pondok pesantren.
Khossun menikah dengan putri dari Desa kalirong Kecamatan Gringging Kabupaten Kediri yang bernama Syufi’ah binti KH. Abdulloh Hasyim (Abdul Jalal), saat itu beliau baru saja menyelesaikan pendidikan di di pondok pesantren Nduwu Nganjuk. Disaat pernikahan, Khossun tidak berangkat dari rumah di campurdarat, akan tetapi beliau justru berangkat dari pondok Klumpit hal itu disebabkan oleh kepercayaan mbah Zayadi pada sang kyai/ guru mbah Dimyati.
Setelah menikah beliau membeli tanah di Tegalarum-Kertosono. Tetapi baru tinggal selama 3 bulan di Tegalarum, Beliau menerima salah satu utusan dari mbah Zayadi yang bernama Mangun. Mangun menyampaikan pesan kedua orang tuanya, yang intinya bahwa Khossun tidak diperkenankan untuk mendirikan pondok di Tegalarum dan diminta untuk mengembangkan pendidikan Islam di daerah kelahiranya yaitu Campurdarat. Menurut Mangun, larangan dari kedua orang tuanya tersebut dikarenakan Khossun dianggap sebagai satu-satunya putra dari Mbah Zayadi yang mempu meneruskan perjuangan dan cita-cita beliau dalam mengembangkan Islam.
Sekitar tahun 1918 Khossun kembali ke Campurdarat, oleh orangtunya dibelikan sebuah rumah yang berupa balai dari dusun Cerme Desa Gamping Kecamatan Campurdarat, Balai tersebut merupakan bekas milik seorang pemain jaranan, kemudian balai itu oleh Khossun di fungsikan untuk langgar/ surau, ditempat itulah Khossun mulai mengumandangkan Islam di tanah kelahirannya di Campurdarat.
Pada tahun 1918 Khossun bersama istri melaksanakan ibadah Haji ke baitulloh dan berganti nama dari Khossun menjadi Dimyathi sebagaimana yang diamanatkan gurunya KH. Dimyathi dari Tremas Pacitan.
Dari pernikahannya dengan Syufi’ah, Khossun memiliki putra-putri sebanyak 10 orang, yaitu Muti’ah, Moh. Syamsudin, Fathonah, Imam Mawardi, Musrifatin, Suparti, Syamsul Mu’adzom (meninggal pada usia kanak-kanak), Musrifah, Rodiyah dan Nurhadi. Saat ini putra-putri beliau tinggal dibeberapa kota di Jawa Timur. Sebagai penerus perjuangan beliau dalam mendidik masyarakat dengan nilai-nilai Islam di Campurdarat saat ini diemban oleh Mohammad Syamsudin .
B. PERJALANAN PENDIDIKAN
Sejak masa kecilnya Khossun belajar Al qur’an pada keluarganya di Campurdarat, Selanjutnya beliau menuntut ilmu pada mbah Mesir di Durenan-Trenggalek, setelah menyelesaikan ngaji pada mbah Mesir beliau melanjutkan nyantri pada KH. Dimyathi Tremas, beliau disana selama 6,5 tahun. Pada saat di tremas inilah, suatu ketika Khossun dipanggil oleh gurunya yakni KH. Dimyathi dengan maksut meminta agar Khossun mengganti nama yang sama dengan dirinya yaitu DIMYATHI. Mendengar perintah dari Gurunya Khossun tidak berani menolak, namun beliau menyatakan kepada KH. Dimyathi bahwa. dirinya berkenan memakai nama Dimyathi jika sudah berhasil sampai di Makkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Perjalanan pendidikan Khossun tidak hanya berhenti di Tremas, seteleh masa nyantri di Pondok Tremas dianggap cukup, Khossun melanjutkan ke Pondok Tragal-Jawa Tengah. Dari Tragal Khossun kemudian berguru pada KH. Kholil – Bangkalan – Madura. Menyelesaikan pendidikan di Madura, khossun lalu berguru pada KH. Zainudin di Mojosari-Nganjuk. Usai dari mojosari Khossun meneruskan mencari ilmu pada KH. Marwah di Mangunsari Nganjuk.
Merasa belum cukup bekal untuk mengemban amanat kholifatullah fil Ardl, khossun kembali meninggalkan kota kelahirannya untuk menambah bekal pengetahuan melanjutkan mondok di pondok pesantren Sekar putih-Nganjuk, setelah menyelesaikan pendidikan di Sekar Putih beliau meneruskan ngaji di pondok Klumpit Nganjuk. Dari Klumpit beliau melanjutkan lagi di Pondok Pesantren Lirboyo yang diasuh oleh KH. Abdul Karim, saat itu jumlah santri masih 8 orang.
Ketika menjadi santri dari KH. Abdul Karim Lirboyo, Khossun juga ikut belajar / merangkap belajar di pondok Banjar Mlati dan di Pondok Jamsaren Kediri.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Lirboyo Khossun lalu melanjutkan belajar di pondok pesantren Nduwu pada tahun 1917. Mulai saat itulah Khossun mulai mengembangkan ilmunya di Pondok Klupit dan dinikahkan dengan seorang putri dari Kalirong yang bernama Syufi’ah binti KH. Abdulloh Hasyim (Abdul Jalal)
Selama menempuh pendidikan dari satu pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain, selalu saja ada kisah yang membuat Khossun dinilai sebagai santri yang memiliki keistimewaan. Pernah ketika menjadi santri di Pondok pesantren Mojosari- yang diasuh oleh KH. Zainudin, Setiap sang guru mulai membuka kitab untuk diajarkan kepada santri-santrinya di masjid, pada saat yang sama Khossun mulai mengerubuti dirinya dengan kain jarit (kemulan jarek) pemberian orang tuanya, dan tidur di depan dampar tempat KH. Zainudin mbalah kitab. Melihat perilaku tersebut KH. Zainudin tidak marah, beliau membiarkan saja tingkah laku Khossun, tak ayal lagi perbuatan itu membuat santri-santri yang lain menjadi gelisah. Tetapi mereka tidak hendak mencela Khosun, apalagi saat melihat kitab-kitab yang dimiliki Khosun, ternyata kitab-kitab yang telah diajarkan oleh KH. Zainudin milik khosun tidak ada satu kata pun yang terlewat maknanya. Wallahua’lam.
C. PERJUANGAN DAN KEPEMIMPINAN
Tahun 1918 Khosun meninggalkan pondok pesantren, dan menetap di desa tegal Arum bersama isterinya. Tetapi Kedua orang tuanya meminta untuk kembali ke Campurdarat. Di Campurdarat beliau tinggal di rumah bekas milik seorang pegiat seni jaranan yang telah dibeli oleh orangtuanya. Di tempat itulah, Khossun mulai mengabdikan ilmu pengetahuannya pada masyarakat sekitar. Dimulai dengan merubah fungsi bale miliknya menjadi Langgar, KH. Dimyathi mengajarkan ilmu-ilmu agama islam pada orang-orang disekitar rumahnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau ta’dzim dengan siapapun walaupun itu cucunya sendiri. Hal itu berlangsung hingga Tahun 1955, pada tahun itu beliau masih ngaji sampai selesai (khatam) tiga kitab yaitu Al Qur-an, Fatkhul wahab dan Bughiyah. Sejak tahun 1957 beliau uzlah (mengasingkan diri) untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT.
D. WAFAT KH. DIMYATHI
Setelah beliau melaksanakan uzlah selama 17 tahun dan tidak aktif lagi untuk melakukan pembinaan kepada santri dan masyarakat sekitar, seluruh aktifitas pembinaan diserahkan kepada putranya K. Moh. Syamsudin.
Pada tahun 1974 beliau KH. Dimyathi wafat dan dimakamkan di dusun Kauman Desa Campurdarat (dibelakang Masjid Daruttaibin Campurdarat), masyarakat Campurdarat dan sekitarnya menyebut makam mbah wali campur ada juga yang menyebut mbah wali Dimyathi. Wallohu a’lam.
http://daruttaibin.wordpress.com/2008/02/20/riwayat-kyai-haji-dimyathi/